Selamat Datang di Blog Ponpes Life Skill Daarun Najaah Semarang Jawa Tengah | Tebarkan salam penuh dengan semangat untuk meraih Sukses, Sholeh dan Selamat Dunia Akhirat | Dapatkan informasi seputar kegiatan pondok dan artikel lainnya disini

MENU

Moon Calendar

Kamis, 02 April 2015

Studi Kasus : Kajian Al Quran dan Hadits Mengenai Pembayaran Denda Karena Terlambat Melunasi Hutang


oleh : Annake Harijadi Noor
Pendahuluan
Dalam aspek kehidupan keseharian muslim, bermuamalah dalam berbagai hal semisal pinjam meminjam, sewa menyewa maupun hhutang pihutang sudah menjadi tradisi dalam rangka berta’awun demi membantu saudara muslim lain yang membutuhkan. Dengan adanya syariat hhutang pihutang misalkan, kehidupan perekonomian umat muslim dapat terbantu dan mengalami perbaikan. Selain itu, keuntungan lain bagi yang memberi hhutang diantaranya bisa ikut berempati, merasakan kesusahan perekonomian saudaranya. Apalagi bila yang memberi hhutang bisa merelakan kepada yang berhhutang. Sedangkan bagi yang berhhutang, ikatan hhutang pihutang dapat mendidik rasa tanggung jawab, dalam hal ini usaha penepatan waktu pelunasannya.
Tapi kemudian, yang terjadi terkadang ada saja orang yang berhhutang tidak dapat melunasi hhutangnya tepat waktu sesuai jatuh tempo yang sudah menjadi kesepakatan di awal, karena alasan-alasan tertentu yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Begitupula orang yang memberi hhutang terkadang merasa tidak mau dirugikan dengan berkurangnya harta karena dihhutangkan, apalagi yang dihhutangkan, terlambat pelunasannya dari jatuh tempo. Mereka mengambil keuntungan dengan membebankan tambahan pembayaran dari yang dihhutangkan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai riba, atau lebih tepatnya riba duyyun.
Riba duyyun merupakan riba yang kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berhhutang mengembalikan hhutangnya tepat waktu maka tidak akan dikenai tambahan, namun jika tidak tepat waktu, akan dikenai tambahan atas hhutangnya tersebut. Riba semacam ini banyak dipraktekan pada zaman pra-Islam yang secara khusus disebut riba jahiliyyah atau riba nasi’ah (riba bertempo). Dan riba jenis inilah yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS. Al-Baqarah : 275).
Lantas bagaimana dengan praktek denda yang banyak diterapkan dewasa ini, yakni denda yang diambil atas keterlambatan pembayaran atau pelunasan hhutang, baik oleh perseorangan atau oleh suatu lembaga yang menyediakan jasa peminjaman. Permasalahan ini kemudian akan dibahas dengan menggunakan metode bayani dalam kajiannya terhadap al Quran dan hadits.
Pembahasan
Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar hhutang disebut al-gharamat at-ta’khiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 458).
Mengenai permasalahan pembayaran denda atas keterlambatan pelunasan hhutang ini terdapat dua pendapat yang berbeda di antara para ulama. Sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan.
Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” (HR. al-Bukhari)
Juga sabda Nabi SAW, ”Tindakan orang mampu (menunda pembayaran hutangnya) telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Kedua hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda pembayaran hutangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang mereka yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah), yaitu tambahan dari hhutang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran hutang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi hutang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Kedua, denda karena terlambat membayar hutang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252).
          Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena terlambat membayar hutang atau angsuran hutang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar