oleh : Annake Harijadi Noor
Pendahuluan
Dalam
aspek kehidupan keseharian muslim, bermuamalah dalam berbagai hal semisal
pinjam meminjam, sewa menyewa maupun
hhutang
pihutang sudah menjadi tradisi dalam rangka berta’awun demi membantu saudara
muslim lain yang membutuhkan. Dengan
adanya syariat hhutang pihutang misalkan, kehidupan perekonomian umat muslim
dapat terbantu dan mengalami perbaikan. Selain itu, keuntungan lain bagi yang
memberi hhutang diantaranya bisa ikut berempati, merasakan kesusahan
perekonomian saudaranya. Apalagi bila yang memberi hhutang bisa merelakan
kepada yang berhhutang. Sedangkan bagi yang berhhutang, ikatan hhutang pihutang
dapat mendidik rasa tanggung jawab, dalam hal ini usaha penepatan waktu
pelunasannya.
Tapi kemudian, yang terjadi
terkadang ada saja orang yang berhhutang tidak dapat melunasi hhutangnya tepat
waktu sesuai jatuh tempo yang sudah menjadi kesepakatan di awal, karena alasan-alasan
tertentu yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Begitupula orang yang
memberi hhutang terkadang merasa tidak mau dirugikan dengan berkurangnya harta
karena dihhutangkan, apalagi yang dihhutangkan, terlambat pelunasannya dari
jatuh tempo. Mereka mengambil keuntungan dengan membebankan
tambahan pembayaran dari yang dihhutangkan. Inilah yang kemudian dikenal
sebagai riba, atau lebih tepatnya riba duyyun.
Riba duyyun merupakan
riba yang kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berhhutang
mengembalikan hhutangnya tepat waktu maka tidak akan dikenai tambahan, namun
jika tidak tepat waktu, akan dikenai tambahan atas hhutangnya tersebut. Riba
semacam ini banyak dipraktekan pada zaman pra-Islam yang secara khusus disebut riba
jahiliyyah atau riba nasi’ah (riba bertempo). Dan riba jenis inilah
yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS. Al-Baqarah : 275).
Lantas bagaimana dengan praktek denda yang banyak diterapkan dewasa ini,
yakni denda yang diambil atas keterlambatan pembayaran atau pelunasan hhutang,
baik oleh perseorangan atau oleh suatu lembaga yang menyediakan jasa
peminjaman. Permasalahan ini kemudian akan dibahas dengan menggunakan metode
bayani dalam kajiannya terhadap al Quran dan hadits.
Pembahasan
Dalam fiqih kontemporer denda karena
terlambat membayar hhutang
disebut al-gharamat at-ta’khiriyah atau al-gharamat al-maliyah.
(Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u at-Tajir Jahlahu, hal. 279
& 335; Ali as-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal.
458).
Mengenai permasalahan pembayaran denda atas keterlambatan pelunasan hhutang
ini terdapat dua pendapat yang berbeda di antara para ulama. Sebagian membolehkan dan sebagian
lagi mengharamkan.
Yang membolehkan antara lain
berdalil dengan sabda Nabi SAW,
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia
mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Menunda-nunda
pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” (HR.
al-Bukhari)
Juga sabda Nabi SAW, ”Tindakan orang mampu (menunda pembayaran hutangnya) telah menghalalkan kehormatannya
dan sanksi kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Kedua hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu
menunda pembayaran hutangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk
hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak
boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah
(riba nasi’ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak
berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (Abdullah Mushlih & Shalah
Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang mereka yang mengharamkan berdalil denda
semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah), yaitu
tambahan dari hhutang
yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang
diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia
tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di
awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang
mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran hutang
layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi
(hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini
banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha
berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya
boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid.,
hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa
pemberi hutang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak
lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi
penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari
penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus,
ibid., hal. 449).
Kedua, denda karena terlambat
membayar hutang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba
sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a
u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama
dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252).
Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena terlambat
membayar hutang atau angsuran hutang hukumnya haram karena termasuk riba.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar