Selamat Datang di Blog Ponpes Life Skill Daarun Najaah Semarang Jawa Tengah | Tebarkan salam penuh dengan semangat untuk meraih Sukses, Sholeh dan Selamat Dunia Akhirat | Dapatkan informasi seputar kegiatan pondok dan artikel lainnya disini

MENU

Moon Calendar

Sabtu, 11 April 2015

Paham Egosentris

PAHAM EGOSENTRIS

A.           Pandangan Manusia Tentang Alam Semesta pada Zaman Primitif
Ribuan tahun yang lalu, ketika manusia melihat ke angkasa mereka mulai bertanya dalam hati tentang apa yang mereka lihat. Dengan kerangka berpikir yang masih mempercayai takhayul, mereka melihat angkasa sebagai sesuatu yang menakjubkan tentang hal-hal aneh yang terjadi di langit.
Kedip cahaya diterjemahkan oleh orang zaman dahulu sebagai kabar dari dewa akan datangnya sebuah takdir yakni keberuntungan atau nasib sial. Hadirnya komet, gerhana dimaknai dengan berbagai penafsiran akan datangnya suatu pertanda kejadian atau peristiwa. Begitupun dengan peredaran benda langit di angkasa, sehingga memunculkan teori egosentris.1
Teori Egosentris ini lahir berdasarkan pengalaman manusia berdiri di dataran bumi yang luas, dia memandang ke langit biru yang nampak di mata bagaikan lingkaran raksasa, melengkung yang berbatas pada suatu garis yang melingkar luas bundar, yang kemudian disebut dengan “kaki langit” atau horizon, cakrawala, atau ufuk. Pada segala penjuru di kaki langit ini, diamati dan dibandingkan, kemudian terasalah oleh manusia itu, bahwa jarak kaki-kaki langit dengan dirinya sendiri semuanya nampak sama jauhnya. Maka timbullah anggapan bahwa dimana dia berdiri memandang alam raya ini disitulah yang menjadi titik pusat dari lingkaran raksasa bola langit yang sedang diamatinya itu.2

B.            Paham dan Pandangan Tentang Egosentris
Egosentris berasal dari kata “ego” yang berarti “saya” dan “Centrum” yang berarti pusat. Adapun pengertian istilahnya, egosentris berarti “suatu faham yang beranggapan, bahwa yang harus di titik pusat dari segala-galanya di alam raya pada bola langit, ialah manusia (saya) itu sendiri dimana dia sedang berada”. Teori ini lahir berdasarkan pengalaman manusia berdiri di dataran bumi yang luas.3


Di segala penjuru kaki langit, manusia mengamati dan membandingkan, kemudian mereka merasa bahwa jarak kaki-kaki langit dengan dirinya sendiri semuanya nampak sama jauhnya. Maka timbullah anggapan bahwa dimana dia berdiri (manusia/saya) sedang berdiri memandang alam raya ini, di situlah yang menjadi titik pusat dari lingkaran raksasa bola langit yang sedang diamatinya itu.

C.           Perkembangan Ilmu Falak pada Periode Egosentris
Manusia mengenal falak sejak abad ke 28 Sebelum Masehi. Bahkan, sekitar 5000 tahun yang lalu, manusia telah mengenal pembagian hari dalam sepekan, yang berjumlah tujuh hari. Dalam pendahuluan kitab “khulashotul wafiyah” pun disebutkan bahwa pencetus ilmu falak pertama kali adalah Nabi Idris, Beliau langsung diajarkan oleh Allah melalui wahyu yang menjelaskan tentang alam semesta, gugusan bintang dan perhitungan tahun yang pada saat itu belum bisa tergambarkan oleh akal.
 Di dalam pengamatannya, manusia telah membuat suatu teori tentang apakah yang menjadi pusat dari benda-benda langit di alam raya ini. Maka lahirlah beberapa teori, dan yang terkenal ada tiga macam, yakni teori egosentris, geosentris dan heliosentris.

      Sejak manusia memperhatikan keadaan langit atau antariksa meraka sangat terkesan oleh keindahan bnda-benda yang seolah-olah bertaburan itu. Tidaklah mengherankan apabila ada orang atau sekelompok orang yang menganggap matahari atau bulan bagai Tuhan, dan kemudian menyembahnya akan tetapi lama kelamaan mereka juga berpikir siapakah sesungguhnya yang menciptakan dan siapakah pula sesungguhnya yang mengatur sehingga benda-benda tersebuut dapat bergerak dengan teratur. Benda-benda antariksa yang dapat kita saksikan matahari muncul disebelah timur dan terbenam disebelah barat, mempunyai kecepatan bergerak yang sangat teratur. Permukaan bumi yang tampak datar seperti meja itu, seolah-olah terkurung oleh setengah bola langit, dan keadaa serupa mungkin ada di bawahnya. Bulan yang mulai tampak seperti sabit, kemudian bertambah besar sehingga menjadi bulan purnama dan selanjutnya mengecil lagi sampai pada akhirnya menghilang tidak tampak. Pada saat tulah manusia berpikir untuk menyelidiki dan timbullah ilmu perbintangan / astronomi / ilmu falak.[1]




[1] Ridwan Sofyan. Ilmu Falak, Apollo 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar