PAHAM EGOSENTRIS
A.
Pandangan Manusia Tentang Alam Semesta pada
Zaman Primitif
Ribuan tahun yang lalu,
ketika manusia melihat ke angkasa mereka mulai bertanya dalam hati tentang apa
yang mereka lihat. Dengan kerangka berpikir yang masih mempercayai takhayul,
mereka melihat angkasa sebagai sesuatu yang menakjubkan tentang hal-hal aneh
yang terjadi di langit.
Kedip cahaya diterjemahkan
oleh orang zaman dahulu sebagai kabar dari dewa akan datangnya sebuah takdir
yakni keberuntungan atau nasib sial. Hadirnya komet, gerhana dimaknai dengan
berbagai penafsiran akan datangnya suatu pertanda kejadian atau peristiwa.
Begitupun dengan peredaran benda langit di angkasa, sehingga memunculkan teori
egosentris.1
Teori Egosentris ini lahir berdasarkan pengalaman manusia
berdiri di dataran bumi yang luas, dia memandang ke langit biru yang nampak di
mata bagaikan lingkaran raksasa, melengkung yang berbatas pada suatu garis yang
melingkar luas bundar, yang kemudian disebut dengan “kaki langit” atau horizon,
cakrawala, atau ufuk. Pada segala penjuru di kaki langit ini, diamati dan
dibandingkan, kemudian terasalah oleh manusia itu, bahwa jarak kaki-kaki langit
dengan dirinya sendiri semuanya nampak sama jauhnya. Maka
timbullah anggapan bahwa dimana dia berdiri memandang alam raya ini disitulah
yang menjadi titik pusat dari lingkaran raksasa bola langit yang sedang
diamatinya itu.2
B.
Paham dan Pandangan Tentang Egosentris
Egosentris berasal
dari kata “ego” yang berarti “saya” dan “Centrum” yang berarti pusat. Adapun pengertian
istilahnya, egosentris berarti “suatu faham yang beranggapan, bahwa yang harus
di titik pusat dari segala-galanya di alam raya pada bola langit, ialah manusia
(saya) itu sendiri dimana dia sedang berada”. Teori ini lahir berdasarkan
pengalaman manusia berdiri di dataran bumi yang luas.3
Di segala penjuru kaki langit,
manusia mengamati dan membandingkan, kemudian mereka merasa bahwa jarak
kaki-kaki langit dengan dirinya sendiri semuanya nampak sama jauhnya. Maka timbullah
anggapan bahwa dimana dia berdiri (manusia/saya) sedang berdiri memandang alam
raya ini, di situlah yang menjadi titik pusat dari lingkaran raksasa bola
langit yang sedang diamatinya itu.
C.
Perkembangan Ilmu Falak pada Periode
Egosentris
Manusia mengenal falak sejak abad
ke 28 Sebelum Masehi. Bahkan, sekitar 5000 tahun yang lalu, manusia telah
mengenal pembagian hari dalam sepekan, yang berjumlah tujuh hari. Dalam
pendahuluan kitab “khulashotul wafiyah” pun disebutkan bahwa pencetus ilmu
falak pertama kali adalah Nabi Idris, Beliau langsung diajarkan oleh Allah
melalui wahyu yang menjelaskan tentang alam semesta, gugusan bintang dan
perhitungan tahun yang pada saat itu belum bisa tergambarkan oleh akal.
Di dalam pengamatannya,
manusia telah membuat suatu teori tentang apakah yang menjadi pusat dari
benda-benda langit di alam raya ini. Maka lahirlah beberapa teori, dan yang
terkenal ada tiga macam, yakni teori egosentris, geosentris dan heliosentris.
Sejak
manusia memperhatikan keadaan langit atau antariksa meraka sangat terkesan oleh
keindahan bnda-benda yang seolah-olah bertaburan itu. Tidaklah mengherankan
apabila ada orang atau sekelompok orang yang menganggap matahari atau bulan
bagai Tuhan, dan kemudian menyembahnya akan tetapi lama kelamaan mereka juga
berpikir siapakah sesungguhnya yang menciptakan dan siapakah pula sesungguhnya
yang mengatur sehingga benda-benda tersebuut dapat bergerak dengan teratur.
Benda-benda antariksa yang dapat kita saksikan matahari muncul disebelah timur
dan terbenam disebelah barat, mempunyai kecepatan bergerak yang sangat teratur.
Permukaan bumi yang tampak datar seperti meja itu, seolah-olah terkurung oleh
setengah bola langit, dan keadaa serupa mungkin ada di bawahnya. Bulan yang
mulai tampak seperti sabit, kemudian bertambah besar sehingga menjadi bulan
purnama dan selanjutnya mengecil lagi sampai pada akhirnya menghilang tidak
tampak. Pada saat tulah manusia berpikir untuk menyelidiki dan timbullah ilmu
perbintangan / astronomi / ilmu falak.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar