BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Syariat adalah
ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah
tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang
baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt
dan sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam
syariat tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami
segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat
tersebut.[1]
Pengertian dari syariat sendiri terkadang
sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence),
sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak hanya aspek
hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum Islam tentu
diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping itu juga
hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
hukum-hukum lain. Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
prinsip-prinsip hukum Islam?
2.
Bagaimana
karakteristik hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip pokok (al mabda’) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman
pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam. Prinsip-prinsip pokok itu adalah : [1]
1. Meng-Esakan Tuhan (tauhid), semua manusia dikumpulkan
di bawah panji-panji atau ketetapan yang sama, yaitu : Laa Ilaaha illallah
(QS. Ali Imran : 64).
2. Manusia berhubungan langsung dengan Allah swt, tanpa atau meniadakan perantara antara manusia
dengan Tuhan (QS. Al Ghafir : 60, QS. Al Baqarah : 186).
3. Keadilan bagi manusia, baik terhadap dirinya sendiri,
maupun terhadap orang lain (QS. An Nisa : 135, QS. Al Maidah : 8, QS. Al An’am
: 152, QS. Al Hujurat : 9).
4. Persamaan (al musawah) di antara umat manusia, persamaan di antara sesama umat Islam. Tidak ada
perbedaan antara manusia, yang membedakannya hanyalah taqwanya (QS. Al Hujurat : 13, QS. Al Isra’ :
70 dan beberapa hadits).
5. Kemerdekaan atau kebebasan (al hurriyah),
meliputi kebebasan agama, kebebasan berbuat dan bertindak, kebebasan pribadi
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum (QS. Al Baqarah : 256, QS. Al
Kafirun : 5, QS. Al Kahfi : 29).
6. Amar ma’ruf nahi munkar, yaitu memerintahkan untuk berbuat yang baik, benar,
sesuai dengan kemaslahatan manusia, diridhai oleh Allah swt dan memerintahkan
untuk menjauhi perbuatan buruk, tidak benar, merugikan umat manusia,
bertentangan dengan perintah Allah swt (QS. Ali Imran : 10).
7. Tolong menolong (ta’awwun) yaitu tolong
menolong, saling membantu antar sesama manusia sesuai dengan prinsip tauhid,
dalam kebaikan dan taqwa kepada Allah swt, bukan tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan (QS. Al Maidah : 2, QS. Al Mujadalah : 9).
8. Toleransi (tasamuh) yaitu sikap saling
menghormati untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian antar sesama manusia
(QS. Al Mumtahanah : 8-9).
9. Musyawarah dalam memecahkan segala masalah dalam
kehidupan (QS. Ali Imran : 159, QS. Asy Syura : 38).
10. Jalan tengah (ausath, wasathan) dalam segala
hal (QS. Al Baqarah : 143).
11. Menghadapkan pembebanan (khitob, taqlid) kepada
akal (QS. Al Hasyr : 2, QS. Al Baqarah : 75, QS. Al An’am : 32 dan 118).
Adapun prinsip-prinsip hukum Islam sebagai sebuah ketetapan hukum, di
antaranya sebagai berikut :
1.
Tidak menyulitkan (‘adamul
kharaj), memiliki arti bahwa hukum Islam tidak sempit, sesak, tidak memaksa
dan tidak memberatkan. Adapun cara meniadakan kesulitan di antaranya :
a.
Pengguguran kewajiban, yaitu
dalam keadaan tertentu kewajiban dapat ditiadakan, seperti gugurnya kewajiban
shalat Jumat dan gugurnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang
sedang dalam perjalanan atau sakit.
b.
Pengurangan kadar yang telah
ditentukan, seperti qashar shalat dhuhur, ashar dan isya’ yang jumlah
raka’atnya 4 menjadi 2 raka’at.
c.
Penukaran, yaitu penukaran
suatu kewajiban dengan yang lain, seperti wudlu atau mandi besar ditukar dengan
tayammum atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain
bagi orang yang memiliki halangan untuk berpuasa.
d.
Mendahulukan, yaitu
mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir, seperti shalat jama’ taqdim
dimana shalat ashar dilaksanakan pada waktu dhuhur atau melaksanakan shalat
isya pada waktu maghrib.
e.
Menangguhkan atau
menta’khirkan kewajiban, yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya
terlewat, seperti shalat jama’ ta’khir dimana shalat dhuhur dilaksanakan pada
waktu ashar atau melaksanakan shalat maghrib pada waktu isya.
f.
Mengubah dengan bentuk lain,
seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan
atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa
dengan membayar fidyah.
2.
Tidak memberatkan dan
menyedikitkan beban (taqlil at takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti
etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah yang dimaksud taklif
adalah tuntutan Allah swt untuk berbuat sehingga dipandang taat untuk menjauhi
laranganNya.[2]
Dalam mengadakan aturan-aturan untuk manusia
selalu diusahakan oleh Tuhannya agar aturan-aturan tersebut mudah dilaksanakan
dan tidak merepotkan. Meskipun hal ini berarti tidak harus menghapuskan aturan
(perintah) sama sekali. Sebab dengan perintah-perintah itu dimaksudkan agar
jiwa manusia terhadap perbuatan yang buruk dapat dibatasi. Jadi maksudnya
dengan menyedikitkan hukum Islam ialah yang berlebih-lebihan dan yang
menghabiskan kekuatan badan dalam melaksanakannya.[3]
Dasar taqlil at takalif adalah QS. Al
Maidah : 101 yang menegaskan bahwa orang-orang beriman dilarang bertanya kepada
Rasulullah tentang hal yang bila diwajibkan akan menyulitkan mereka.[4]
Rasulullah melarang para sahabat memperbanyak
pertanyaan tentang hukum yang belum ada yang nantinya akan memberatkan mereka
sendiri. Rasulullah justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah
umum dengan maksud ada kelapangan untuk berijtihad. Dengan demikian hukum Islam
tidaklah kaku, keras dan berat bagi umat manusia. Sangkaan-sangkaan tidak boleh
dijadikan dasar penetapan hukum.[5]
3.
Menegakkan keadilan (tahqiq
al ‘adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti, secara bahasa
adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl al syai’ fi mahalih).
Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik,
datang untuk semua manusia dan menyatukan urusan dalam ruang lingkup kebenaran
dan memadukan dalam kebaikan. Dalam beberapa ayat al Quran dijumpai perintah
untuk berlaku adil, salah satunya dalam QS. Al Maidah : 8.
4.
Menegakkan maslahat
Maslahat berasal dari kata al shulh atau al
islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan
tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara
terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.[6]
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan
kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang, dunia dan akhirat.
Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam. Tidak ada satu bidang keyakinan atau
aktifitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam
syariat Islam yang dikaji dengan segala cara panjang yang luas dan mendalam.[7]
Dasar-dasar ini akan semakin terlihat dalam
beberapa tempat di antaranya :
a.
Masalah keyakinan (tauhid),
yaitu penetapan kewajiban dan beban (taklif)
b.
Menjelaskan hikmah dari
diutusnya Rasulullah
c.
Isyarat tentang hikmah dari
diciptakannya hidup dan mati
d.
Menjelaskan maslahat dari
kewajiban beberapa ibadah
e.
Terkait pensyariatan qisash
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi
dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan dengan manusia lain maka baik
pula hubungan dengan penciptanya. Oleh karena itu hukum Islam sangat menekankan
kemanusiaan.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan
agar sesuai dengan kepentingan yang baik dari pemeluk-pemeluknya. Maka tidak
heran pada suat waktu diadakan aturan-aturan hukum. Kemudian aturan tersebut
dibatalkan apabila keadaan menghendaki dan diganti dengan aturan lain.
Pembatalan hukum tersebut bukan saja bersifat teori tetapi juga benar terjadi
dalam sejarah kehidupan hukum Islam.
Selain prinsip-prinsip tersebut, dalam hukum Islam terdapat kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah hukum Islam (al
qawaid al fiqhiyah) adalah kaidah-kaidah umum yang disusun oleh para ulama
berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (al Quran dan hadits) melalui metode
induktif. Kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman dalam menentukan hukum
berbagai peristiwa dan masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Ada
lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang disebut al qawaid al khams
(panca kaidah), yaitu :
1. Al umuuru bi maqashida (segala urusan menurut niatnya)
2. Adl dlararu yuzalu (kemadlaratan atau kesulitan itu harus dihilangkan)
3. Al ‘adatu muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum)
4. Al yaqiinu laa yuzalu
bi syak (keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan)
5. Al masyaqqatu tajlibu
at taisir (kesukaran, kesulitan
mendatangkan kemudahan)
Aplikasi lima kaidah pokok tersebut,
meliputi berbagai hukum, sebagai berikut : [8]
1. Kaidah pertama berkaitan dengan niat untuk melakukan
sesuatu. Berdasarkan kaidah ini para ulama menetapkan niat merupakan rukun dari suatu perbuatan. Tanpa niat perbuatan tidak sah.
2. Kaidah kedua berkaitan dengan prinsip dalam Islam
bahwa kemadlaratan atau kesulitan harus dihilangkan. Karena itu ketika muncul kesulitan, maka hal yang dilarang boleh
dilakukan.
3. Kaidah ketiga berkaitan dengan penggunaan adat
kebiasaan (‘urf) manusia dalam bermuamalah untuk memelihara kepentingan manusia dan menghilangkan kesulitan. Adat kebiasaan yang bisa
dijadikan dasar hukum adalah adat kebiasaan yang shahih, tidak fasid. Yaitu
yang berlaku umum, tidak bertentangan dengan nash, tidak mengharamkan yang
halal dan tidak menghalalkan yang haram.
4. Kaidah keempat berkaitan dengan prinsip bahwa sesuatu
yang sudah diyakini, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Hukum pokok ialah
tetap yang telah ada atas apa yang telah ada, hingga timbul keyakinan ada
perubahan atasnya.
5. Kaidah kelima berkaitan dengan prinsip dalam Islam
bahwa Allah swt menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Oleh
karena itu dikala muncul kesulitan, maka muncul kemudahan untuk mengatasinya.
B.
Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki watak
tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang
memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari
proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini
beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis,
universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1.
Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan
segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun
berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang
umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat
tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat
global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang
dan waktu.[9]
2.
Elastis, dinamis,
fleksibel dan tidak kaku
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu
menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[10]
Hukum Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan
manusia. Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan
kaidah dan patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan
berkembang proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang
bersifat elastis dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[11]
3.
Universal
Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada
batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari
sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7,
misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari
segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan
masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam
dapat melayani para ahl ‘aql, ahl naql dan ahl ro’yi atau ahl
hadits.[12]
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam
minimal dari 3 segi:
a.
Menyangkut
pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan pada keadilan
universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia biasa bahkan
terhadap seorang Nabi.
b.
Kemanusiaan yang
universal
c.
Efektifitas hukum
bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk
seluruh manusia pula.
4.
Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang
lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis.
Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan
antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam
mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang
umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[13]
5.
Berangsur-angsur
(tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan
didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran
ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup
manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui
pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam
berbagai bidang.
6.
Bersifat ta’abuddi
dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk
yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah
swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang
mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang
terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na)
atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah
kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepadaNya dan
mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya
bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami
oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya
dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang
bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat
yang terkandung di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada madlaratnya dan
diperintahkan karena ada maslahat di dalamnya.[14]
Kemudian terdapat ciri-ciri
kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah : [15]
1.
Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah swt, yang
terdapat dalam al Quran dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
2.
Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah
(iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
3.
Hukum Islam bersifat universal (alami), dan
diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
4.
Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di
akhirat (kelak).
5.
Hukum Islam mengarah pada jama’iyah (kebersamaan)
yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.
6.
Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan
sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7.
Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di
dunia dan kesejahteraan di akhirat.
[4] Jaih
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 11.
[6] Jaih
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 8.
[7] Rasyad
Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta :
Amzah), 2009, hal. 22.
[11]
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 3.
[13] Joseph
Schacht, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta :
Islamika), 2003, hal. 300.
[14]
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar