Selamat Datang di Blog Ponpes Life Skill Daarun Najaah Semarang Jawa Tengah | Tebarkan salam penuh dengan semangat untuk meraih Sukses, Sholeh dan Selamat Dunia Akhirat | Dapatkan informasi seputar kegiatan pondok dan artikel lainnya disini

MENU

Moon Calendar

Kamis, 02 April 2015

Prinsip dan Karakteristik Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt dan sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut.[1]
Pengertian dari syariat sendiri terkadang sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence), sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum Islam tentu diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping itu juga hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan hukum-hukum lain. Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.

B.            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.             Bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam?
2.             Bagaimana karakteristik hukum Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip pokok (al mabda’) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam. Prinsip-prinsip pokok itu adalah : [1]
1.      Meng-Esakan Tuhan (tauhid), semua manusia dikumpulkan di bawah panji-panji atau ketetapan yang sama, yaitu : Laa Ilaaha illallah (QS. Ali Imran : 64).
2.      Manusia berhubungan langsung dengan Allah swt, tanpa atau meniadakan perantara antara manusia dengan Tuhan (QS. Al Ghafir : 60, QS. Al Baqarah : 186).
3.      Keadilan bagi manusia, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain (QS. An Nisa : 135, QS. Al Maidah : 8, QS. Al An’am : 152, QS. Al Hujurat : 9).
4.      Persamaan (al musawah) di antara umat manusia, persamaan di antara sesama umat Islam. Tidak ada perbedaan antara manusia, yang membedakannya hanyalah taqwanya (QS. Al Hujurat : 13, QS. Al Isra’ : 70 dan beberapa hadits).
5.      Kemerdekaan atau kebebasan (al hurriyah), meliputi kebebasan agama, kebebasan berbuat dan bertindak, kebebasan pribadi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum (QS. Al Baqarah : 256, QS. Al Kafirun : 5, QS. Al Kahfi : 29).
6.      Amar ma’ruf nahi munkar, yaitu memerintahkan untuk berbuat yang baik, benar, sesuai dengan kemaslahatan manusia, diridhai oleh Allah swt dan memerintahkan untuk menjauhi perbuatan buruk, tidak benar, merugikan umat manusia, bertentangan dengan perintah Allah swt (QS. Ali Imran : 10).
7.      Tolong menolong (ta’awwun) yaitu tolong menolong, saling membantu antar sesama manusia sesuai dengan prinsip tauhid, dalam kebaikan dan taqwa kepada Allah swt, bukan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. Al Maidah : 2, QS. Al Mujadalah : 9).
8.      Toleransi (tasamuh) yaitu sikap saling menghormati untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian antar sesama manusia (QS. Al Mumtahanah : 8-9).
9.      Musyawarah dalam memecahkan segala masalah dalam kehidupan (QS. Ali Imran : 159, QS. Asy Syura : 38).
10.  Jalan tengah (ausath, wasathan) dalam segala hal (QS. Al Baqarah : 143).
11.  Menghadapkan pembebanan (khitob, taqlid) kepada akal (QS. Al Hasyr : 2, QS. Al Baqarah : 75, QS. Al An’am : 32 dan 118).
Adapun prinsip-prinsip hukum Islam sebagai sebuah ketetapan hukum, di antaranya sebagai berikut :
1.      Tidak menyulitkan (‘adamul kharaj), memiliki arti bahwa hukum Islam tidak sempit, sesak, tidak memaksa dan tidak memberatkan. Adapun cara meniadakan kesulitan di antaranya :
a.       Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban dapat ditiadakan, seperti gugurnya kewajiban shalat Jumat dan gugurnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
b.      Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dhuhur, ashar dan isya’ yang jumlah raka’atnya 4 menjadi 2 raka’at.
c.       Penukaran, yaitu penukaran suatu kewajiban dengan yang lain, seperti wudlu atau mandi besar ditukar dengan tayammum atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang memiliki halangan untuk berpuasa.
d.      Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir, seperti shalat jama’ taqdim dimana shalat ashar dilaksanakan pada waktu dhuhur atau melaksanakan shalat isya pada waktu maghrib.
e.       Menangguhkan atau menta’khirkan kewajiban, yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya terlewat, seperti shalat jama’ ta’khir dimana shalat dhuhur dilaksanakan pada waktu ashar atau melaksanakan shalat maghrib pada waktu isya.
f.       Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.

2.      Tidak memberatkan dan menyedikitkan beban (taqlil at takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah swt untuk berbuat sehingga dipandang taat untuk menjauhi laranganNya.[2]
Dalam mengadakan aturan-aturan untuk manusia selalu diusahakan oleh Tuhannya agar aturan-aturan tersebut mudah dilaksanakan dan tidak merepotkan. Meskipun hal ini berarti tidak harus menghapuskan aturan (perintah) sama sekali. Sebab dengan perintah-perintah itu dimaksudkan agar jiwa manusia terhadap perbuatan yang buruk dapat dibatasi. Jadi maksudnya dengan menyedikitkan hukum Islam ialah yang berlebih-lebihan dan yang menghabiskan kekuatan badan dalam melaksanakannya.[3]
Dasar taqlil at takalif adalah QS. Al Maidah : 101 yang menegaskan bahwa orang-orang beriman dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang hal yang bila diwajibkan akan menyulitkan mereka.[4]
Rasulullah melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada yang nantinya akan memberatkan mereka sendiri. Rasulullah justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah umum dengan maksud ada kelapangan untuk berijtihad. Dengan demikian hukum Islam tidaklah kaku, keras dan berat bagi umat manusia. Sangkaan-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[5]

3.      Menegakkan keadilan (tahqiq al ‘adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti, secara bahasa adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl al syai’ fi mahalih). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia dan menyatukan urusan dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan. Dalam beberapa ayat al Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, salah satunya dalam QS. Al Maidah : 8.

4.      Menegakkan maslahat
Maslahat berasal dari kata al shulh atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.[6]
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang, dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam. Tidak ada satu bidang keyakinan atau aktifitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syariat Islam yang dikaji dengan segala cara panjang yang luas dan mendalam.[7]
Dasar-dasar ini akan semakin terlihat dalam beberapa tempat di antaranya :
a.       Masalah keyakinan (tauhid), yaitu penetapan kewajiban dan beban (taklif)
b.      Menjelaskan hikmah dari diutusnya Rasulullah
c.       Isyarat tentang hikmah dari diciptakannya hidup dan mati
d.      Menjelaskan maslahat dari kewajiban beberapa ibadah
e.       Terkait pensyariatan qisash
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan dengan manusia lain maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Oleh karena itu hukum Islam sangat menekankan kemanusiaan.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan yang baik dari pemeluk-pemeluknya. Maka tidak heran pada suat waktu diadakan aturan-aturan hukum. Kemudian aturan tersebut dibatalkan apabila keadaan menghendaki dan diganti dengan aturan lain. Pembatalan hukum tersebut bukan saja bersifat teori tetapi juga benar terjadi dalam sejarah kehidupan hukum Islam.
Selain prinsip-prinsip tersebut, dalam hukum Islam terdapat kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah hukum Islam (al qawaid al fiqhiyah) adalah kaidah-kaidah umum yang disusun oleh para ulama berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (al Quran dan hadits) melalui metode induktif. Kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman dalam menentukan hukum berbagai peristiwa dan masalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Ada lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang disebut al qawaid al khams (panca kaidah), yaitu :
1.      Al umuuru bi maqashida (segala urusan menurut niatnya)
2.      Adl dlararu yuzalu (kemadlaratan atau kesulitan itu harus dihilangkan)
3.      Al ‘adatu muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum)
4.      Al yaqiinu laa yuzalu bi syak (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan)
5.      Al masyaqqatu tajlibu at taisir (kesukaran, kesulitan mendatangkan kemudahan)
Aplikasi lima kaidah pokok tersebut, meliputi berbagai hukum, sebagai berikut : [8]
1.      Kaidah pertama berkaitan dengan niat untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan kaidah ini para ulama menetapkan niat merupakan rukun dari suatu perbuatan. Tanpa niat perbuatan tidak sah.
2.      Kaidah kedua berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa kemadlaratan atau kesulitan harus dihilangkan. Karena itu ketika muncul kesulitan, maka hal yang dilarang boleh dilakukan.
3.      Kaidah ketiga berkaitan dengan penggunaan adat kebiasaan (‘urf) manusia dalam bermuamalah untuk memelihara kepentingan manusia dan menghilangkan kesulitan. Adat kebiasaan yang bisa dijadikan dasar hukum adalah adat kebiasaan yang shahih, tidak fasid. Yaitu yang berlaku umum, tidak bertentangan dengan nash, tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.
4.      Kaidah keempat berkaitan dengan prinsip bahwa sesuatu yang sudah diyakini, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Hukum pokok ialah tetap yang telah ada atas apa yang telah ada, hingga timbul keyakinan ada perubahan atasnya.
5.      Kaidah kelima berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa Allah swt menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Oleh karena itu dikala muncul kesulitan, maka muncul kemudahan untuk mengatasinya.

B.            Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1.      Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[9]

2.      Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[10] Hukum Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[11]

3.      Universal
Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aql, ahl naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[12]
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi:
a.       Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
b.      Kemanusiaan yang universal
c.       Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.

4.      Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[13]


5.      Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.

6.      Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepadaNya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada madlaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat di dalamnya.[14]
Kemudian terdapat ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah : [15]
1.        Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam al Quran dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
2.        Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
3.        Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
4.        Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
5.        Hukum Islam mengarah pada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.
6.        Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7.        Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.



[1] Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 98.
[2] Wahbah Zuhaili, I, 1986.
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1970, hal. 26.
[4] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 11.
[5] Salim, Tarikh Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani), 1988, hal. 41-42.
[6] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2, hal. 8.
[7] Rasyad Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah), 2009, hal. 22.
[8] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2, hal. 71-72.
[9] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997, hal. 46.
[10] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2, hal. 64.
[11] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 3.
[12] Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 105.
[13] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), 2003, hal. 300.
[14] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 4.
[15] Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1992, hal. 113.


[1] Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1992, hal. 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar