Selamat Datang di Blog Ponpes Life Skill Daarun Najaah Semarang Jawa Tengah | Tebarkan salam penuh dengan semangat untuk meraih Sukses, Sholeh dan Selamat Dunia Akhirat | Dapatkan informasi seputar kegiatan pondok dan artikel lainnya disini

MENU

Moon Calendar

Kamis, 02 April 2015

Zakat, Infaq dan Shadaqah

oleh : Annake Harijadi Noor & Endang Nurliyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
“Kemiskinan” dan “orang-orang miskin” sudah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Seorang ilmuwan besar, Prof. Mohd. Farid Wajdi (alm) dalam bukunya al Islam Din Lam Khalid menceritakan tentang sejarah hitam hubungan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin yang berlangsung sejak kebudayaan-kebudayaan pertama manusia. Bahwa di setiap bangsa, tidak akan ditemukan segolongan manusia, kecuali dua golongan, yaitu golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Di balik keadaan yang demikian, ditemukan hal menarik dimana golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas, sedangkan golongan melarat selalu semakin “kurus”, hampir-hampir tak berdaya.[1]
Semua agama, baik itu agama samawi maupun agama ciptaan manusia pada dasarnya memiliki peran dan memberikan perhatian terhadap orang-orang miskin. Perhatian agama-agama tersebut tidak lain adalah bertujuan agar terwujudnya persaudaraan dan kehidupan yang sentosa.[2]
Namun, perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan tidak dapat dibandingkan dengan agama manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Al Quran sebagai pedoman kehidupan umat Islam sangat memperhatikan permasalahan ini. Di dalamnya terdapat banyak ayat-ayat yang berisi tentang himbauan untuk memperhatikan nasib orang-orang miskin. Yang perhatian tersebut di antaranya tidak lebih daripada sekedar anjuran supaya manusia berbuat baik dan kasih kepada orang-orang miskin dan realisasi perbuatan baik tersebut tergantung kepada kemurahan hati pribadi masing-masing orang. Dengan demikian, jelas bahwa nasib orang-orang miskin itu tergantung kepada belas kasih orang-orang kaya. Bila orang-orang kaya tergerak untuk berbuat baik, entah karena cinta kepada Allah maupun bahkan hanya sekedar ingin dipuji, maka mereka akan memberikan sesuatu.[3]
Kemudian dalam praktiknya, sebagaimana yang telah dijelaskan baik dalam al Quran maupun hadits, bentuk dari pemberian orang-orang kaya tersebut kepada orang-orang miskin, materi maupun non materi, memiliki beragam bentuk. Di antaranya zakat, infaq dan shadaqah. Adapun penjelasan mengenai ketiganya, selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.

B.            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.             Apa yang dimaksud dengan zakat, infaq dan shadaqah?
2.             Apa perbedaan di antara masing-masing jika dilihat dari subjek, materi, penerima, kadar, waktu dan hukumnya?
3.             Apa yang dimaksud dengan zakat fitrah dan mal, serta bagaimana pengelolaannya?
4.             Siapa saja yang berhak menerima zakat?


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Definisi Zakat, Infaq dan Shadaqah
a.             Zakat
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang diwajibkan secara mutlak oleh Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. al Baqarah : 110.

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

Zakat ditinjau dari segi bahasa merupakan kata dasar (mashdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh (berkembang), bersih atau suci dan baik.[1] Tumbuh (an nama) berarti bahwa harta yang dikeluarkan tidak berkurang, tetapi justru akan tumbuh dan berkembang.[2] Dikatakan oleh orang Arab zakaa azzar’u yang berarti tumbuhan yang tumbuh dengan baik.[3] Bersih atau suci (ath thaharah) berarti bahwa harta yang dikeluarkan akan menjadi bersih dan membersihkan jiwa yang memiliki harta tersebut dari kotoran hasad, dengki dan bakhil. Baik (ash sholahu) berarti bahwa harta yang dikeluarkan akan menjadi baik dan zakat sendiri akan memperbaiki kualitas harta tersebut dan amal pemiliknya.[4]
Sedangkan ditinjau dari segi istilah fiqh,  zakat berarti sejumlah harta tertentu yang telah mencapai nisab untuk diserahkan kepada golongan tertentu dan pada waktu tertentu.[5] Menurut Imam Hanafi, zakat adalah pemberian hak kepemilikan atas sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu yang telah ditentukan oleh syariat, semata-mata karena Allah. Menurut Imam Malik, zakat adalah mengeluarkan sebagian tertentu dari harta tertentu yang telah sampai nisab kepada orang yang berhak menerima, jika kepemilikan, haul (genap satu tahun) telah sempurna selain barang tambang, tanaman dan harta tenunan. Menurut Imam Hambali, zakat adalah hak yang wajib pada harta tertentu kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu. Menurut Imam Syafi’i, zakat adalah nama untuk barang yang dikeluarkan untuk harta atau badan (diri manusia) kepada pihak tertentu.[6]
Terdapat dua jenis zakat yang disyariatkan, yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta).

b.             Infaq
Infaq berasal dari akar kata nafaqa yang berarti keluar. Secara istilah, infaq berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan, baik itu kepentingan yang baik maupun kepentingan yang buruk.[7]
Kata infaq sering digunakan dalam al Quran dan hadits untuk beberapa hal, sehingga secara hukum, infaq terbagi menjadi empat, yaitu[8] :
1.      Infaq wajib
Infaq wajib berarti mengeluarkan harta untuk perkara yang wajib seperti :
·           Membayar zakat
·           Membayar mahar (QS. al Mumtahanah : 10)
·           Menafkahi istri (QS. an Nisa : 34)
·           Menafkahi istri yang ditalak dan masih dalam keadaan iddah (QS. at Talaq : 6-7)

2.      Infaq sunnah
Infaq sunnah berarti mengeluarkan harta dengan niat shadaqah atau dengan kata lain menunjuk pada harta yang dianjurkan untuk dikeluarkan tetapi tidak sampai wajib seperti :
·           Infaq untuk jihad (QS. al Anfal : 60)
·           Infaq kepada yang membutuhkan, misalnya memberi uang kepada fakir miskin atau menolong orang yang terkena musibah dan lain sebagainya.

3.      Infaq mubah
Infaq mubah berarti mengeluarkan harta untuk perkara yang mubah seperti berdagang dan bercocok tanam (QS. al Kahfi : 43)

4.      Infaq haram
Infaq haram berarti mengeluarkan harta dengan tujuan yang diharamkan oleh Allah seperti :
·           Infaqnya orang kafir untuk menghalangi syiar islam (QS. al Anfal : 36)
·           Infaqnya orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah  (QS. an Nisa : 38)

c.              Shadaqah
Shadaqah secara bahasa berarti sesuatu yang benar atau jujur. Secara istilah berarti mengeluarkan harta di jalan Allah sebagai bukti kejujuran atau kebenaran iman seseorang. Shadaqah atau sedekah juga bisa diartikan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah (menafkahkan sebagian harta di luar kewajiban syariah). Shadaqah bukan hanya diartikan sebagai bantuan materi, tetapi juga bantuan non materi atau ibadah fisik non materi seperti menolong orang dengan tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bertasbih, berdzikir, bahkan melakukan hubungan suami istri disebut juga sebagai shadaqah.[9] Hal ini sesuai dengan hadits :

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه أنَّ ناساً قالوا : يَا رَسُولَ الله ، ذَهَبَ أهلُ الدُّثُور بالأُجُورِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أمْوَالِهِمْ ، قَالَ : أَوَلَيسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ بِهِ : إنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقةً ، وَكُلِّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَحمِيدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً ، وَأمْرٌ بالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وفي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ  قالوا : يَا رسولَ اللهِ ، أيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أجْرٌ ؟ قَالَ : أرَأيتُمْ لَوْ وَضَعَهَا في حَرامٍ أَكَانَ عَلَيهِ وِزرٌ ؟ فكذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا في الحَلالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ )رواه مسلم(
Dari Abu Dzar r.a : Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi Muhammad saw : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi saw bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah.” Mereka bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya ia mendapat pahala?” Nabi saw menjawab : ”Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram dia berdosa demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya pada yang halal ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)

B.            Perbedaan Ketiganya Dilihat dari Segi Subjek, Materi, Penerima, Kadar, Waktu dan Hukum
1.             Zakat
Sebagaimana yang telah dijelaskan, zakat wajib dikeluarkan oleh setiap muslim dewasa, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat tertentu. Adapun yang wajib dizakati adalah jiwa dan harta (zakat fitrah dan mal). Orang yang berhak menerima zakat yaitu delapan golongan yang telah disebutkan di dalam al Quran. Kadarnya atau besar zakat yang dikeluarkan ditentukan tergantung kepada jenis barang yang dizakatkan. Waktu dalam mengeluarkan zakat pun telah ditentukan pada waktu tertentu. Dan hukum zakat adalah wajib.

2.             Infaq
Infaq bersifat umum. Infaq dapat berarti untuk ibadah bisa juga untuk perkara yang dibolehkan atau bahkan perkara yang wajib. Infaq dapat dikeluarkan oleh siapa saja, tak terbatas ruang dan waktu serta kadarnya.


3.             Shadaqah
Shadaqah bebas dikeluarkan oleh siapa saja dan diberikan kepada siapa saja. Dalam bershadaqah tidak ada persyaratan tertentu dan hukumnya tidak wajib.

C.           Definisi Zakat Fitrah dan Mal serta Pengelolaannya
Sebagaimana yang telah diketahui, zakat terbagi menjadi dua jenis, yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat mal (harta). Mengenai keduanya, terdapat perbedaan dalam pelaksanaan dan pengelolaannya, termasuk jenis harta apa yang dikeluarkan zakatnya.

a.             Zakat Fitrah
Makna zakat fitrah yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah karena berbuka dari puasa (futur) pada bulan Ramadhan, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya dan memberikan makanan kepada orang-orang miskin serta mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya. Para fuqoha menyebut zakat fitrah merupakan pajak yang dibebankan pada pribadi (nafs), sehingga ia wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin di bulan Ramadhan sampai menjelang shalat Idul fitri.[10]
Syarat wajib zakat fitrah yaitu jika seseorang telah memiliki kelebihan harta dari makanan untuk Idul Fitri maka yang berlebih dari makanan tersebut  wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kelebihan tidak wajib membayar zakat fitrah.[11] Adapun besar zakat fitrah yang dikeluarkan adalah 1 sha’ dari makanan pokok. Ukuran 1 sha’ menurut para ulama adalah 4 mud dengan 1 mud seukuran dua telapak tangan orang dewasa secara umum atau setara dengan 767 ml. Lembaga fatwa Arab Saudi mengatakan bahwa ukuran 1 sha’ sekitar 2,6 kg. Sedangkan ukuran yang ditentukan oleh para ulama di Indonesia adalah sekitar 2,5 kg.[12] Adapun makanan pokok yang dimaksud adalah makanan yang dijadikan sebagai bahan pangan utama sehari-hari seperti beras, sagu, jagung, maupun kurma, tergantung yang berlaku di daerah masing-masing.
Waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah sewaktu terbenam matahari pada malam hari raya. Adapun terdapat ulama yang membolehkan mengeluarkan pada satu atau dua hari sebelum waktu wajib karena menurut mereka asal zakat fitrah diwajibkan karena berbuka dan berpuasa.[13]

b.             Zakat Mal
Yang dimaksud dengan zakat mal yaitu zakat berupa harta yang wajib atas emas dan perak (uang), perdagangan, binatang ternak, biji-bijian dan tanaman, barang tambang dan barang temuan (harta karun).

1.             Zakat emas dan perak (uang)
Para fuqoha sepakat mengenai kewajiban emas dan perak atau dengan kata lain, logam berupa mata uang baik lempengan, tercetak atau berupa perhiasan.[14]
Di dalam hadits Ali bin Abi Thalib yang disampaikan oleh Ibnu Majah bahwa Ibnu Umar dan Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah saw mengambil zakat sebanyak 1/2 dinar dari orang yang memiliki 20 dinar dan 1 dinar dari orang yang memiliki 40 dinar.[15]
Dinar adalah mata uang dari emas yang 1 dinar beratnya sekitar 4,25 gr. Maka nisab emas sebanyak 20 dinar sama dengan 85 gr emas.[16] Sedangkan besar yang dikeluarkan adalah 1/40 nya dari 20 dinar atau 1/40 dari 85 gr yaitu 2,125 gr.
Selain dinar (emas), terdapat dirham yang merupakan mata uang dari perak. Dalam hadits riwayat Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah saw bersabda, “Keluarkanlah zakat perak! pada setiap 40 dirham dikeluarkan 1 dirham, jika seseorang memiliki 190 dirham maka tidak ada kewajiban zakat baginya. Jika dia memiliki 200 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 5 dirham.” Berdasarkan hadits tersebut maka nisab perak adalah 200 dirham, yang setiap 40 dirham dikeluarkan zakatnya sebanyak 1 dirham sehingga 200 dirham dikeluarkan zakatnya 5 dirham. Apabila seseorang hanya memiliki 190 dirham maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat.[17]
Beberapa barang yang disamakan dengan emas dan perak di antaranya uang kartal, saham dan surat berharga seperti obligasi.[18]

2.             Zakat perdagangan
Makna barang dagangan yaitu harta selain emas dan perak seperti perumahan macam-macam hewan pakaian dan barang-barang lain yang digunakan untuk berdagang.[19] Ada beberapa syarat mengenai kewajiban zakat perdagangan, yaitu :
a.              Barang perdagangan menjadi hak milik dalam arti yang sebenarnya seperti hasil dari jual beli, pernikahan, hadiah, wasiat dan usaha-usaha yang halal, karena barang yang bukan hak milik tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
b.             Barang yang menjadi hak milik tersebut diniatkan untuk berdagang.[20]
Zakat perdagangan dilihat kapan saat harga dagang mencapai nisab senilai 85 gr emas. Setelah itu, setahun kemudian dilihat lagi apakah masih sampai satu nisab atau tidak. Jika masih, maka dikeluarkan 1/40 darinya. Cara menghitungnya bukan dengan harga pada waktu barang dibeli, bukan juga pada waktu akan dijual. Tetapi dengan harga berapa untuk mendapatkan barang tersebut. Maka hitunglah berapa kira-kira harga ketika mendapatkan barang tentu berbeda ketika dijual ataupun dibeli.[21]


3.             Zakat binatang ternak
Binatang ternak yang termasuk adalah unta, sapi, kambing atau sejenisnya. Dalam kewajiban zakat binatang ternak terdapat beberapa syarat, yaitu :
a.              Mencapai satu nisab
b.             Telah mencapai satu haul dalam kepemilikan pemiliknya yaitu telah berlalu satu tahun penuh sejak awal kepemilikan.
c.              Binatang ternak tersebut merupakan binatang yang termasuk kategori sa’imah yaitu binatang yang digembalakan atau yang diberi makan dengan cara dilepas dipadang rumput.
d.             Binatang ternak tersebut untuk dikembangbiakkan bukan untuk dipekerjakan.[22]
Adapun zakat unta tidak wajib dikeluarkan jika kurang dari 5 ekor, apabila sampai 5 ekor maka zakatnya adalah seekor kambing betina.
Adapun zakat sapi tidak wajib dikeluarkan sebelum sampai pada jumlah 30 ekor, maka zakatnya adalah seekor sapi jantan atau betina genap umur satu tahun.
Dan zakat kambing apabila telah mencapai 40 ekor dikeluakan zakatnya seekor kambing betina.

4.             Zakat biji-bjian dan tanaman
Zakat biji-bijian dan tanaman merupakan hasil panen dari tanaman pangan berupa gandum, padi, kurma, anggur kering dan biji-bijian, sedangkan komoditas yang lain seperti sayuran dan buah-buahan selain anggur dan kurma tidak wajib zakat.[23]
Adapun nisabnya mencapai 5 wasaq, dengan 1 wasaq sama dengan 60 sha’ jadi 5 wasaq sama dengan 300 sha’ (sekitar 750 kg).  Maka zakat yang dikeluarkan sebanyak 1/10 bila diairi dengan air hujan. Apabila diairi dengan pompa atau mengeluarkan biaya dalam pengairannya maka zakat yang dikeluarkan 1/20.[24]

5.             Zakat barang tambang dan barang temuan (harta karun)
Yang dimaksud  dengan barang tambang adalah barang peninggalan kuno menurut Hanafiyah sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak. Menurut Hanabilah barang tambang mencakup semua jenisnya baik yang beku maupun cair.[25]
Mengenai zakat barang temuan atau peninggalan kuno zakatnya 1/5 berdasarkan kesepakatan ulama. Karena barang peninggalan kuno adalah ghanimah untuk kemaslahatan umum. Dalam masalah ini tidak disyaratkan mencapai nisab. Selain emas dan perak karena kedua barang tersebut dianggap sebagai jenis tersendiri.

D.           Orang yang Berhak Menerima Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat adalah sesuai dengan firman Allah dalam QS. At- Taubah : 60.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) pengurus-pengurus zakat, (4) para mu'allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang berhutang, (7) untuk jalan Allah dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Sehingga telah jelas bahwa terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu :
1.             Fakir
Orang fakir adalah orang yang tidak mendapatkan sesuatu untuk menutupi kebutuhannya (orang melarat, orang yang amat sengsara hidupnya).[26]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab atau mempunyai satu nisab tetapi habis untuk keperluannya. Menurut Imam Malik yaitu orang yang mempunyai harta sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun. Menurut Imam Hambali yaitu orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya. Menurut Imam Syafi’i yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta dan usaha kurang dari seperdua keperluannya dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.[27]

2.             Miskin
Orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan usaha lebih baik dari orang fakir tetapi tidak mencukupi kebutuhannya (berada dalam keadaan kekurangan).[28]
Menurut Imam Hanafi dan Imam Malik yaitu orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun. Menurut Imam Hambali yaitu orang yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tapi tidak mencukupi. Menurut Imam Syafi’i yaitu orang yang mempunyai harta dan usaha sebanyak seperdua keperluannya atau lebih tapi tidak sampai mencukupi.[29]

3.             Amil
Para ulama telah sepakat tentang siapa yang dimaksud dengan amil yaitu orang yang ditunjuk atau diangkat (diberi tugas) oleh penguasa untuk mengurus zakat sejak dari mengumpulkan, mencatat, menjaga dan membagikan harta zakat kepada yang berhak.[30]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat. Menurut Imam Malik yaitu pengurus zakat meliputi pencatat, pembagi, penasehat dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat. Menurut Imam Hambali yaitu pengurus zakat yang diberi zakat sekedar upah pekerjaannya. Menurut Imam Syafi’i yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat dan tidak mendapat upah selain dari zakat.[31]

4.             Muallaf
Muallaf bisa jadi muslim atau juga non muslim yang diharapkan ke-Islamannya karena dianggap akan mendatangkan banyak manfaat untuk Islam atau orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih lemah.[32]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang tidak diberi zakat lagi sejak masa khalifah pertama. Menurut Imam Malik yaitu orang kafir yang ada harapan untuk masuk Islam dan atau orang yang baru memeluk Islam. Menurut Imam Hambali yaitu orang kafir yang mempunyai pengaruh dan ada harapan ia masuk Islam atau orang yang baru masuk Islam dengan harapan imannya akan bertambah teguh. Menurut Imam Syafi’i ada empat macam yaitu yang pertama, orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih lemah. Yang kedua, orang Islam yang berpengaruh dalam golongannya dengan harapan kalau diberi zakat orang lain dari golongannya akan masuk Islam. Yang ketiga, orang Islam yang berpengaruh atas orang kafir dengan harapan kalau diberi zakat akan terpelihara dari kejahatan orang kafir tersebut. Yang keempat, orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.[33]

5.             Budak
Yang dimaksud adalah budak muslim yang mungkin untuk dimerdekakan dan dibayarkan seluruh biaya yang dibutuhkan untuk memerdekakannya.[34]
Menurut Imam Hanafi yaitu budak yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau harta lain. Menurut Imam Malik yaitu budak muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan. Menurut Imam Hambali dan Imam Syafi’i yaitu budak yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan dan diberi zakat sekedar penebus dirinya.[35]

6.             Orang yang berhutang
Orang yang berhutang bisa disebabkan karena dia mendamaikan dua orang yang berselisih walaupun dia orang kaya atau bisa karena untuk menutupi kebutuhannya atau kepentingan yang bukan maksiat sedangkan dia tidak sanggup membayarnya.[36]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang mempunyai hutang sedangkan hitungan hartanya diluar hutang tidak cukup satu nisab, dia diberi zakat untuk membayar hutang. Menurut Imam Malik yaitu orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya, dibayar hutangnya dengan zakat kalau dia berhutang bukan untuk sesuatu yang fasid (jahat). Menurut Imam Hambali ada dua macam yaitu yang pertama, orang yang berhutang untuk mendamaikan orang lain yang berselisih. Yang kedua, orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah, ia diberi zakat sekedar hutangnya. Menurut Imam Syafi’i ada tiga macam yaitu yang pertama, orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih. Yang kedua, orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah tapi dia sudah taubat. Yang ketiga, orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain, sedangkan dia dan orang yang dijaminnya tidak dapat membayar hutang.[37]

7.             Fii sabilillah
Para ulama sepakat yang dimaksud dengan fii sabilillah adalah para pejuang yang berperang di jalan Allah. Atau dengan kata lain adalah jihad yang bermakna umum termasuk jihad dengan lisan dan tulisan. Dengan demikian boleh mengambil zakat untuk perkembangan dakwah dan membiayai para da’i.[38]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang berperang pada jalan Allah. Menurut Imam Malik yaitu bala tentara dan mata-mata untuk keperluan membeli senjata, kuda atau untuk keperluan peperangan yang lain pada jalan Allah. Menurut Imam Hambali yaitu bala tentara yang tidak mendapat gaji dari penguasa. Menurut Imam Syafi’i yaitu bala tentara yang membantu sedangkan dia tidak mendapat gaji dan untuk membeli keperluan seperti senjata dan lain sebagainya. Namun masih menurut Imam Syafi’i terdapat keumuman dalam kata sabilillah. Ditetapkan dalam kaidah ilmu ushul fiqh bahwa kata yang umum wajib diartikan menurut keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sehingga fii sabilillah tidak hanya dimaknai sebagai orang yang berperang (mengangkat senjata) namun juga meliputi semua hal yang menjadi kemaslahatan umum pada jalan Allah.[39]

8.             Ibnu sabil
Para ulama sepakat bahwa ibnu sabil adalah orang yang berada dalam perjalanan (musafir) yang bukan maksiat dan kehabisan perbekalan sehingga tidak bisa kembali ke negaranya meskipun di negaranya dia orang kaya.[40]
Menurut Imam Hanafi yaitu orang yang dalam perjalanan, putus perhubungan dengan hartanya maka orang ini diberi zakat sekedar keperluannya. Menurut Imam Malik yaitu orang yang dalam perjalanan sedangkan dia membutuhkan biaya pulang ke negaranya dengan syarat keadaan perjalanannya bukan maksiat. Menurut Imam Hambali yaitu orang yang kehabisan perbekalan dalam perjalanan yang halal dan diberi sekedar cukup untuk biaya pulangnya. Menurut Imam Syafi’i yaitu orang yang mengadakan perjalanan dan dalam perjalanannya dia diberi zakat untuk sekedar biaya sampai pada yang dimaksud dan perjalanannya itu bukan maksiat.[41]


[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2004), hal. 34.
[3] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 3, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hal. 164.
[4] Op cit.
[5] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2004), hal. 34.
[6] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 3, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hal. 165.
[9] Op cit.
[10] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2004), hal. 920-921.
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru, 1992), hal. 198.
[12] Erwandi Tarmidzi, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta : Yayasan Dasrussalam, 2013), hal. 35.
[13] Op cit., hal. 199.
[14] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 3, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hal. 189.
[15] Erwandi Tarmidzi, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta : Yayasan Dasrussalam, 2013), hal. 8.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, ( Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007).
[20] Ibid.
[21] Op cit.
[22] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 3, (Jakarta : Gema Insani, 2011).
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Erwandi Tarmidzi, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta : Yayasan Dasrussalam, 2013), hal. 23.
[27] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru, 1992), hal. 200-205.
[28] Op cit.
[29] Op cit.
[30] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Pusat Direktorat Pembinaan PTAI, 1983), hal. 261.
[31] Op cit.
[32] Erwandi Tarmidzi, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta : Yayasan Dasrussalam, 2013), hal. 27.
[33] Op cit.
[34] Op cit.
[35] Op cit.
[36] Op cit.
[37] Op cit.
[38] Op cit.
[39] Op cit.
[40] Op cit., hal. 30.
[41] Op cit.

[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2004), hal. 42-43.
[2] Ibid., hal. 44.
[3] Ibid., hal. 48-49.

Aku Menulis Maka Aku Dikenang ; Bukan Sekedar Goresan Tinta Biasa


Tiada hari tanpa menulis. Apapun jenis dan bentuk tulisannya, menulis merupakan kegiatan lumrah sehari-hari semua orang. Mulai dari tulisan sangat sederhana, seperti catatan hutang, sampai tulisan dalam bentuk yang lebih kompleks, seperti skripsi.
Menulis merupakan kegiatan penyampaian ide atau gagasan kepada publik melalui rangkaian kata-kata. Ia lebih abadi dan tidak mudah hilang karena bentuknya berupa tulisan, baik tercetak maupun yang tidak. Berbeda dengan penyampaian ide atau gagasan secara lisan, ia lebih cepat hilang dari ingatan pendengar atau bisa dikatakan penyampaian secara lisan akan cepat menguap seiring berjalannya waktu dan keterbatasan pendengar dalam mengingat.
Urgensi menulis tidak bisa terelakkan bagi setiap lapisan masyarakat. Dewasa ini, para orang tua berbondong-bondong menanamkan dan membekali keterampilan menulis sejak dini kepada anak mereka. Hal ini dibuktikan dengan peran orang tua dalam mengajari dan menyekolahkan anak mereka dengan tujuan agar dapat membaca dan menulis.
Tidak ada alasan bagi generasi muda saat ini untuk tidak menulis. Karena salah satu upaya pengembangan wawasan intelektual dilakukan melalui tulisan. Dalam hal ini tulisan sebagai media perekam ide atau gagasan dengan harapan kemudian bisa diakses oleh generasi berikutnya.
Layaknya para ahli terdahulu yang mengemukakan ide atau gagasan mereka tidak hanya secara lisan, tetapi juga melalui tulisan. Penetapan hukum maupun teori yang hingga kini dapat diterima dan dipakai secara universal oleh generasi-generasi selanjutnya. Karya tulis yang merupakan hasil riset mereka banyak dijadikan rujukan para pelajar masa kini.
Selain itu, menulis juga dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan suatu bangsa. Orang-orang terdahulu dalam perjalanannya telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan meski masih sangat sederhana, namun hal itu menjadi cikal bakal keilmuan dan menjadi warisan kebudayaan bagi suatu bangsa.
Seperti dalam sebuah contoh kecil, bila seseorang ditanya mengenai kakek buyutnya, cukup namanya saja, misalkan, ia akan kesulitan menjawab dan kebanyakan orang akan menjawab tidak mengetahui atau bahkan tidak mengenal siapa kakek buyutnya. Berbeda bila seseorang ditanya mengenai al-Khawarizmi, misalkan, ia akan dengan mudah dan secara gamblang dapat menjawab siapa al-Khawarizmi. Padahal kita ketahui bahwa al-Khawarizmi hidup jauh dari masa sekarang atau bahkan dari masa kakek buyut orang yang ditanya, yaitu sekitar tahun 780-847 M. Bukan hal aneh ini terjadi, karena tidak ada faktor apapun melainkan karena kakek buyut kebanyakan orang tidak mewariskan sebuah tulisan yang dapat mengenang keberadaannya di masa sekarang, yaitu di masa generasi selanjutnya hidup. Sedangkan al-Khawarizmi telah mewariskan khazanah keilmuannya melalui tulisannya dalam beberapa buku, seperti salah satu bukunya yang berjudul al-Mukhtashar fi Hisabil Jabr wal Muqabalah.
Bukan rahasia lagi, dengan menulis seseorang akan tetap dikenang sepanjang masa. Dan pengaruh tulisan bisa begitu kuat terhadap para pembacanya. Padahal proses untuk membuat sebuah tulisan bisa dikatakan cukup sederhana, hanya membutuhkan keberanian dan ketekunan untuk menuangkan apa yang menjadi ide atau gagasan dalam pikiran.
Keberadaan tulisan pun dirasa cukup efektif sebagai media penyampaian ide atau gagasan dalam beragam bentuk kepada publik, semisal sebagai media dakwah. Proses penyerapan materi dalam sebuah dakwah dinilai ampuh dan lebih mengena bila disampaikan tidak hanya secara lisan, tetapi juga melalui tulisan. Hal ini tentunya juga diimbangi dengan tingkat kesadaran publik akan urgensi membaca.
Karena itu, seseorang yang memiliki kegemaran menulis dan ia berkarir di dunia jurnalistik, khususnya, akan menemukan beragam hal sekaligus dalam hidupnya, yaitu sebagai pelampiasan kegemaran menulisnya dan tentunya sebagai profesi yang akan menghasilkan materi serta hal terpenting di samping itu semua adalah ia akan terkenang karena tulisan yang dihasilkannya.
Demikian sehingga perlu adanya penegasan bahwa menulis itu mudah. Hanya bermodalkan keberanian, tekad serta ketekunan. Semua orang tentu bisa menulis dan dengan tulisan yang dihasilkannya diharapkan bisa membawa manfaat kepada publik. Orang biasa yang bukan siapa-siapa, bisa menjadi luar biasa dan siapa-siapa, salah satunya adalah karena menulis. Sedangkan seseorang yang tidak menulis adalah nothing.

Annake Harijadi Noor.

15.10.13 21:00.

Studi Kasus : Kajian Al Quran dan Hadits Mengenai Pembayaran Denda Karena Terlambat Melunasi Hutang


oleh : Annake Harijadi Noor
Pendahuluan
Dalam aspek kehidupan keseharian muslim, bermuamalah dalam berbagai hal semisal pinjam meminjam, sewa menyewa maupun hhutang pihutang sudah menjadi tradisi dalam rangka berta’awun demi membantu saudara muslim lain yang membutuhkan. Dengan adanya syariat hhutang pihutang misalkan, kehidupan perekonomian umat muslim dapat terbantu dan mengalami perbaikan. Selain itu, keuntungan lain bagi yang memberi hhutang diantaranya bisa ikut berempati, merasakan kesusahan perekonomian saudaranya. Apalagi bila yang memberi hhutang bisa merelakan kepada yang berhhutang. Sedangkan bagi yang berhhutang, ikatan hhutang pihutang dapat mendidik rasa tanggung jawab, dalam hal ini usaha penepatan waktu pelunasannya.
Tapi kemudian, yang terjadi terkadang ada saja orang yang berhhutang tidak dapat melunasi hhutangnya tepat waktu sesuai jatuh tempo yang sudah menjadi kesepakatan di awal, karena alasan-alasan tertentu yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Begitupula orang yang memberi hhutang terkadang merasa tidak mau dirugikan dengan berkurangnya harta karena dihhutangkan, apalagi yang dihhutangkan, terlambat pelunasannya dari jatuh tempo. Mereka mengambil keuntungan dengan membebankan tambahan pembayaran dari yang dihhutangkan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai riba, atau lebih tepatnya riba duyyun.
Riba duyyun merupakan riba yang kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berhhutang mengembalikan hhutangnya tepat waktu maka tidak akan dikenai tambahan, namun jika tidak tepat waktu, akan dikenai tambahan atas hhutangnya tersebut. Riba semacam ini banyak dipraktekan pada zaman pra-Islam yang secara khusus disebut riba jahiliyyah atau riba nasi’ah (riba bertempo). Dan riba jenis inilah yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS. Al-Baqarah : 275).
Lantas bagaimana dengan praktek denda yang banyak diterapkan dewasa ini, yakni denda yang diambil atas keterlambatan pembayaran atau pelunasan hhutang, baik oleh perseorangan atau oleh suatu lembaga yang menyediakan jasa peminjaman. Permasalahan ini kemudian akan dibahas dengan menggunakan metode bayani dalam kajiannya terhadap al Quran dan hadits.
Pembahasan
Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar hhutang disebut al-gharamat at-ta’khiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 458).
Mengenai permasalahan pembayaran denda atas keterlambatan pelunasan hhutang ini terdapat dua pendapat yang berbeda di antara para ulama. Sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan.
Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” (HR. al-Bukhari)
Juga sabda Nabi SAW, ”Tindakan orang mampu (menunda pembayaran hutangnya) telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Kedua hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda pembayaran hutangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang mereka yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah), yaitu tambahan dari hhutang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran hutang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi hutang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Kedua, denda karena terlambat membayar hutang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252).
          Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena terlambat membayar hutang atau angsuran hutang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu a’lam.