oleh
Muhammad Himmatur Riza
Muhammad Syahrul Munir
Muhammad Syahrul Munir
A.
Pendahuluan
Seperti yang telah kita
ketahui bahwasannya penanggalan Hijriyyah (Qamariyyah) pada hakikatnya mengacu
pada peredaran bulan, lain halnya dengan penanggalan Masehi (Syamsiyyah) yang
berpatokan pada peredaran matahari. Dalam keilmuan Falak, penentuan awal bulan Qamariyyah ini lebih mendapatkan
perhatian, disebabkan karena banyaknya perbedaan variabel hasil yang berimplikasi terhadap perbedaan penentuan awal bulan tersebut.
Perbedaan variabel
hasil ini tak lain disebabkan karena banyaknya metode, data hisab serta
kriteria yang digunakan. Secara rasional,
dari metode dan data yang berbeda pasti akan memperoleh hasil yang berbeda
pula. Oleh karena itu, beralih polemik yang cuup besar, secara umum dalam hisab
kontemporer, untuk menetukan awal bulan qamariyyah dibutuhkan beberapa langkah
untuk mendapatkan hasil. Di antaranya, melakukan konversi dari tanggal
Hijriyyah ke Masehi secara urfi. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan kapan
terjadi ijtima’. Tetntunya bagi orang awam istilah ijtima’ menjadi persoalan
yang membutuhkan jawaban. Beranjak dari itu, dalam makalah ini akan membahas
seklumit istilah ijtima’ serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtima’.
B. Pengertian Ijtima’
Ijtima’ merupakan
bentuk mashdar dari akar kata Ijtama’a, Yajtami’u, Ijtimaa’an yang
secara bahasa artinya “berkumpul” atau Iqtiran artinya “bersama”, yaitu
posisi Matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam
astronomi dikenal dengan istilah Conjungtion (konjungsi). Para ahli
astronomi menggunakan ijtima’ ini sebagai pergantian bulan Qamariyah, sehingga
ia disebut pula dengan New Moon. Adapun dalam bahasa jawa istilah
ijtima’ disebut pangkreman. Ijtima’ oleh para ahli hisab dijadikan sebagai
pedoman untuk menentukan masuknya bulan baru Qamariyah. Dalam ilmu hisab
disebut juga dengan Ijtimaa’un Nayyirain. Ijtima’ tersebut dapat terjadi
kapan saja, baik sebelum Matahari terbenam, sebelum Matahari terbit, sebelum
tengah hari, maupun sebelum tengah malam.
Jadi, pada setiap akhir
bulan Qamariyah bulan bertemu dengan Matahari dan pada waktu itu taqwim bulan
(bujur astronomi bulan) bersamaan dengan taqwim Matahari (bujur astronomi
Matahari). Sebaliknya, jika antara taqwim Matahari dengan taqwim bulan jauhnya
180o, maka pada saat itu disebut dengan Istiqbal atau
oposisi. Pada saat ini, Bumi berada di antara bulan dan Matahari. Bagian bulan
yang sedang menerima sinar Matahari hampir seluruhnya terlihat dari Bumi.
Akibatnya bulan terlihat seperti bulatan penuh. Inilah yang disebut dengan Badr
atau Bulan Purnama.
C. Persoalan Seputar Ijtima’
Berbicara mengenai
ijtima’, maka tak luput dari pembahasan gerak bulan khususnya gerak revolusi
bulan. Revolusi bulan adalah peredaran bulan mengelilingi Bumi dari arah barat
ke timur. Satu kali penuh revolusi bulan memerlukan waktu rata-rata 27 hari 7
jam 43 menit 12 detik. Periode waktu ini disebut satu Bulan Sideris atau
Syahr Nujumi.
Revolusi bulan ini
dijadikan dasar perhitungan bulan Qamariyah, akan tetapi waktu yang
dipergunakannya bukan waktu sideris, melainkan waktu sinodis yang lama
rata-ratanya adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Dengan alasan 27 hari 7
jam 43 menit 12 detik, selama itu bulan belum kembali bertemu (ijtima’) dengan
Matahari, sebab selama itu bulan bergerak mengelilingi Bumi (revolusi bulan).
Bumi pun juga bergerak mengelilingi Matahari (revolusi Bumi) dan telah
berpindah dari tempatnya. Jadi, meskipun bulan telah sempurna pada falaknya
mengelilingi Bumi, tetapi belum lagi bertemu dengan Matahari (ijtima’). Hal
demikian itu akan terjadi dalam jangka watu 2 hari 05 jam 00 menit 51 detik
lagi. Sehingga waktu yang diperlukan bulan dari ijtima’ ke ijtima’ berikutnya
selama 29 hari 12 jam 44 menit 03 detik. Waktu inilah yang disebut satu Bulan
Sinodis atau Syahr Iqtiraani.
Seperti ayat dalam QS. Yaasin: 39 yang menjelaskan tentang revolusi bulan.
Artinya: “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir)
Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua.”
Ayat ini menjelaskan
mengenai dimulainya bulan baru atau bulan-bulan pada Awal bulan, kecil
berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, Dia menjadi
purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang
melengkung, kemudian kembali kepada bentuknya yang paling kecil, dan bentuk
yang paling kecil itu terjadi di sekitar ujtima’. Artinya ijtima’ selalu
terjadi satu kali setiap bulan.
Perlu diketahui bahwa
pada keadaan ijtima’, bulan hanya sekali-sekali saja berkedudukan benar-benar
dalam satu garis pandangan dengan Matahari apabila dilihat dari Bumi. Hal
tersebut terjadi pada peristiwa gerhana
Matahari, maka yang menghadap ke Bumi merupakan bagian bulan yang gelap.
Biasanya ketika ijtima’
masih terdapat jarak antara bulan dan Matahari, yaitu sekitar 5o.
Diperoleh dari fenomena bahwa bidang tempat bulan beredar (Falakul Qamar) tidak
sama dengan bidang tempat Matahari beredar, yaitu bidang Ekliptika, yang mana
kedua bidang itu berpotongan dan membentuk sudut 5o. Inilah yang
menjadi alasan bahwa setiap ijtima’ belum tentu terjadi gerhana Matahari.
Dalam keadaan demikian
masih ada bagian permukaan bulan yang diterangi matahari yang menghadap ke
Bumi. Akan tetapi, bagian itu tidak dapat dilihat, karena bulan yang sedang berijtima’
letaknya sangat dekat dengan Matahari. Dan pada malam harinya, bulan akan
selalu di bawah ufuk. Sehingga kelemahan terhadap masalah ijtima’ adalah bahwa
bulan sama sekali tidak dapat diobservasi.
D.
Hisab Ijtima’
Untuk menentukan awal
bulan Qamariyah, langkah awalnya ialah dengan menghitung ijtima’ akhir bulan
dari bulan yang sedang berlangsung. Adapun proses perhitungan awal bulan
Qamariyah menggunakan Ephemeris Hisab Rukyah ditempuh dengan cara:
1.
Menentukan awal bulan apa dan tahun berapa (hijriyah) yang akan dihitung.
2.
Menghitung tanggal 29 bulan (hijriyah) bulan sebelumnya bertepatan dengan
tanggal berapa menurut kalender Masehi dengan cara konversi tanggal atau
perbandingan tarikh.
3.
Siapkan data astronomis pada tanggal masehi tersebut atau sehari sebelumnya
atau sehari setelahnya, yakni kapan terjadi FIB (Faction Illumination
Bulan). Fraction Illumination adalah besar atau luas piringan bulan yang
menerima sinar Matahari yang tampak dari Bumi. Jika seluruh piringan bulan yang
menerima sinar Matahari terlihat dari Bumi maka bentuknya akan berupa “bulatan
penuh”. Dalam keadaan seperti ini nilai Fraction Illumination adalah 1 (satu),
yaitu persis pada saat puncak Bulan Purnama. Sedangkan jika Bumi, bulan, dan
Matahari sedang persis berada pada satu garis lurus, maka akan terjadi gerhana
Matahari. Dalam keadaan seperti ini nilai Ffraction Illumination bulan adalah
nol. Setelah bulan purnama, nilai Fraction Illumination akan semakin mengecil
sampai pada nilai yang paling kecil, yaitu pada saat ijtima’ dan setelah itu
nilai Fraction Illumination ini akan kembali membesar sampai mencapai nilai
satu, pada saat Bulan Purnama. Dengan demikian, data Fraction Illumination ini
dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui kapan terjadinya ijtima’ dan kapan
bulan purnama (istiqbal)
4. Melacak FIB terkecil pada tanggal yang bersangkutan terjadi jam berapa
(waktu Greenwich).
5. Menghitung sabaq Matahari (B1), yakni kecepatan Matahari per
jam. Dengan cara menghitung selisih (harga mutlak) antara ELM (Ecliptic
Longitude Matahari / pada jam FIB terkecil tersebut dengan data ELM pada
satu jam berikutnya. Ecliptic Longitude Matahari atau bujur astronomi Matahari
yaitu, busur sepanjang lingkaran ekliptika ke arah timur diukur dari titik
Aries sampai Matahari. Dalam Ilmu Falak dikenal pula dengan nama Taqwimus
Syams atau Muqawwamus Syams.
6. Menghitung sabaq bulan (B2), yakni kecepatan bulan per jam.
Dengan cara menghitung selisih (harga mutlak) antara data ALB (Apparent
Longitude Bulan ) pada jam FIB terkecil tersebut dengan data ALB pada satu
jam berikutnya. (Catatan: jika FIB terkecil terjadi pada jam 24 maka data ELM
dan ALB satu jam berikutnya adalah data ELM dan ALB pada jam 1 tanggal
berikutnya. Apparent Longitude Bulan atau bujur astronomi bulan, adalah busur
sepanjang lingkaran ekliptika ke arah timur diukur dari titik Aries sampai
bujur astronomi yang melewati bulan. Dalam Ilmu Falak dikenal pula dengan nama Ttaqwimul
Qamar atau Muqawwamul Qamar.
7.
Menghitung waktu Ijtima’.
· Contoh perhitungan ijtima’ dalam rangka menentukan awal Syawal 1437 H.
Untuk mengetahui awal
Syawal 1437 H., maka kita harus menghitung kapan terjadimya ijtima’. Pastinya
ijtima’ tidak terjadi di awal Syawal, melainkan diakhir bulan Ramadhan. Maka
langkah pertama yang wajib dilakukan adalah mengkonversi dari tanggal Hijriyah
ke tanggal Masehi. Setelah ditemukan bahwa tanggal 29 Ramadhan 1437 H
bertepatan dengan tanggal 5 Juli 2016 M secara ‘urfi. Kemudian perhatikan Fraction
Illumination (cahaya bulan) terkecil dari data Ephemeris tahun 2016 pada
bulan Juli, pada tanggal 4, 5, 6 Juli 2016 M.
·
Dari data Ephemeris tahun 2016 pada bulan Juli 2016 diketahui:
a.
FIB (Fraction Illumination Bulan) terkecil pada bulan juli 2016
adalah 0.00152 jam 11.00 GMT tanggal 4 Juli 2016.
b.
ELM (Ecliptic Longitude Matahari) atau طول
الشمس pada jam 11.00 GMT adalah 102o
53’ 49”
c.
ALB (Apparent Longitude Bulan) atau طول
القمر pada jam 11.00 GMT adalah 102o
51’ 59”
d.
Sabaq Matahari per jam
ELM 11.00 GMT = 102o 53’ 49”
ELM 12.00 GMT = 102o 56’ 12”-
SM = 0o 2’ 23”
e.
Sabaq Bulan per jam
ALB 11.00 GMT = 102o 51’ 59”
ALB 12.00 GMT = 103o 27’ 20”-
SB = 0o 35’ 21”
f.
Ijtima’:
Jam FIB GMT + ELM –
ALB + (110o 26’ 47.71” ÷ 15)
SB – SM
11.00 + (102o
53’ 49” - 102o 51’ 59”) + 7 : 21 : 47.18 jam
(0o 35’
21” - 0o 2’ 23”)
11.00 + 0o 03’
20.2” + 7 : 21 : 47.18 jam = 18o 25’ 07.38” WIB
·
Jadi, Ijtima’ akhir Ramadhan 1437 terjadi pada tanggal 4 Juli 2016 pada
pukul 18o 25’ 07.38” WIB
· Cara lain menentukan Ijtima’
Setelah diketahui bahwa FIB terkecil didapat dari dua data yang diperoleh
dari tanggal 4 Juli 2016 pada jam 11.00 GMT dan 12.00 GMT. Adapun perhitungan
selanjutnya sebagai berikut:
1. Perhatikan ELM dan ALB pada jam-jam tersebut dan pilih yang cocok, yang pertama
ALB harus lebih kecil dari ELM, dan yang kedua ALB harus lebih besar
dari ELM. Dalam hal ini ternyata Ijtima’ terjadi antara jam 11.00 GMT dan 23.00
GMT.
Jam FIB
|
ALB
|
ELM
|
11.00
|
102o 51’ 59”
|
102o 53’ 49”
|
12.00
|
103o 27’ 20”
|
102o 56’ 12”
|
2.
Kemudian melakukan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:
Ijtima’ = Jam + ((ELM1 – ALB1) ÷ ((ALB2 – ALB1) – (ELM2 – ELM1)))
= 11.00 + ((102o
53’ 49” - 102o 51’ 59”) ÷ ((103o 27’ 20” - 102o 51’ 59”) – (102o 56’ 12” - 102o
53’ 49”)
= 11o 03’
20.2” + 7 : 21 : 47.18 jam
= 18o 25’
07.38” WIB
Jadi, Ijtima’ akhir Ramadhan 1437 terjadi pada tanggal 4 Juli 2016 pada
pukul 18o 25’ 07.38” WIB.
(dengan menggunakan cara yang kedua hasilnya pun tetap sama).
E. Kesimpulan
E. Kesimpulan
Ijtima’ merupakan
bentuk mashdar dari akar kata Ijtama’a, Yajtami’u, Ijtimaa’an yangsecara
bahasa artinya “berkumpul” atau Iqtiran artinya “bersama”, yaitu posisi
Matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi
dikenal dengan istilah Conjungtion (konjungsi). Para ahli astronomi
menggunakan ijtima’ ini sebagai pergantian bulan Qamariyah, sehingga ia disebut
pula dengan New Moon.
Berbicara mengenai ijtima’, maka tak luput dari pembahasan gerak bulan
khususnya gerak revolusi bulan. Revolusi bulan adalah peredaran bulan
mengelilingi Bumi dari arah barat ke timur. Satu kali penuh revolusi bulan
memerlukan waktu rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 12 detik. Periode waktu ini
disebut satu Bulan Sideris atau Syahr Nujumi. Revolusi bulan ini
dijadikan dasar perhitungan bulan Qamariyah, akan tetapi waktu yang
dipergunakannya bukan waktu sideris, melainkan waktu sinodis yang lama
rata-ratanya adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Dalam perhitungan hisab
ijtima’ pada akhir bulan Ramadhan 1437 terjadi pada tanggal 4 Juli 2016 pada
pukul 18 : 03 : 20.2 WIB.
F. Penutup
F. Penutup
Demikianlah
makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, baik itu dari segi penulisan, gaya bahasa yang kami paparkan atau
juga sistematika pengambilan referensi. Seperti pepatah tak ada gading yang tak
retak. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritikan yang bersifat
membangun serta saran guna memperbaiki dan mengevaluasi makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kami dan bagi semua
kalangan pada umumnya. Amin.
G. Referensi
G. Referensi
Ahmad, Noor, Nuurul Anwar min Muntahal Aqwaal, Kudus: TBS,
t.th
Djambek, Saadoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012
Kementrian Agama RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2014, Jakarta:
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, 2014
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2007
------------------------, Kamus Ilmu Falak, Yogjakarta: Buana
Pustaka, 2005
Wardan, K.R. Muhammad, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Jogjakarta:
Maktabah Metromia, 1957